A. Hakikat Ahlussunnah Wal Jamaah
Dengan
tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah Wal
Jamaah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama semenjak pertama berdirinya menegaskan
diri sebagai penganut, pengemban dan pengembang Islam Ahlussunnah Wal
Jamaah. Dengan sekuat tenaga, Nahdlatul Ulama berusaha menempatkan diri
sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh Kaum Muslimin, terutama para
warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah Wal Jamaah.
Pada
hakikatnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah ajaran Islam yang murni
sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. Bersama para
sahabatnya.
Ketika
Rasulullah Saw. Menerangkan bahwa umatnya akan tergolong-golong menjadi
banyak sekali (73) golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan yang
selamat dari sekian banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah Wal
Jamaah. Atas pertanyaan para sahabat, apakah as-sunnah Wal Jamaah itu,
beliau merumuskan dengan sabdanya:
“Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku”.
Ahlussunnah
Wal Jamaah adalah golongan pengikut setia pada as-sunnah Wal Jamaah,
yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw.
Bersama para sahabatnya pada zamannya itu.
Ahlussunnah
Wal Jamaah bukanlah sesuatu yang baru timbul sebagai reaksi dari
timbulnya beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran yang murni seperti
syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dan sebagainya. As-sunnah Wal Jamaah sudah
ada sebelum semuanya itu timbul. Aliran-aliran itulah yang merupakan
gangguan terhadap kemurnian As-sunnah wal Jamaah. Setelah gangguanitu
membadai dan berkecamuk, dirasakan perlunya predikat Ahlussunnah Wal
Jamaah, dipopulerkan oleh Kaum Muslimin yang tetap setia menegakkan
As-Sunnah Wal Jamaah, mempertahankannya dari segala macam gangguan yang
ditimbulkan oleh aliran-aliran yang mengganggu itu. Mengajak seluruh
pemeluk Islam untuk kembali kepada As-Sunnah Wal Jamaah.
B. Peranan Para Sahabat
Para
Sahabat, generasi yang hidup sezaman dengan Rasulullah Saw. Adalah
generasi yang paling menghayati as-Sunnah Wal Jamaah. Mereka dapat
menerima langsung Ajaran Agama dari tangan pertama. Kalau ada yang belum
jelas, dapat menanyakan langsung pila kepada Rasulullah Saw. Terutama
al-Khulafa ar-Rasyidun Sahabat Abu Bakar Asshidiq ra., bin Affan ra.,
dan sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Memang para sahabat adalah manusia-manusia biasa yang tidak memiliki wewenang Tasyri’ ( membentuk/mengadakan hokum), tetapi di dalam Tathbiq (menerapkan
prinsip-prinsip pada perumusan sikap dan pendapat yang kongkrit),
peranan mereka tidak dapat dikesampingkan hanya karena ada kritik atau
koreksi dari seseorang atau sekelompok orang manusia biasa pula yang
jarak zamannya sedemikian jauh dengan zaman Rasulullah Saw. Dan
kemampuan penghayatannya terhadap as-Sunnah Wal Jamaah sulit diyakinkan
melebihi kemampuan para sahabat.
Rasulullah Saw. Bersahabat :
“Haruslah kamu sekalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk” (Rw. Ahmad)
Nahdlatul
Ulama berpendirian teguh, bahwa (yang mendapat petunjuk) adalah sifat
menerangkan kenyataan bukan sifat yang merupakan syarat yang membatasi.
Artinya, memang semua Khulafa ar-Rasyidin itu, tanpa diragukan lagi
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, bukan orang-orang yang
sebagian mendapat yang sebagian mendapat petunjuk dan sebagian tidak.
Kata almahdiyyin adalah sifat kata alkhulafa bukan sifat kata: sunnah
. Bahkan, Jumhur Ulama berpendapat bahwa para Sahabat Rasulullah Saw.
Adalah para tokoh yang diyakini kejujurannya di dalam masalah
penyampaian ajaran agama. Keragu-raguan terhadap kejujuran para sahabat
merupakan salah satu bahaya bagi kemantapan saluran Ajaran Agama,
apalagi terhadap Khulafa ar-Rasyidin al-Mahdiyyin. Keragu-raguan
tersebut akan mengacaukan, mengaburkan dan mengeruhkan jalur-jalur yang
harus ditelusuri sampai kepada as-Sunnah dan al-Qur’an.
Para sahabatlah yang mendengar ucapan, melihat perbuatan dan menghayati sikap (Taqrir) Rasulullah
Saw. Kemudian ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah Saw. Itu
dikumpulkan, dicatat dan dikodifikasikan. Para sahabat pula yang
mendengar dan mencatat Rasulullah Saw., membacakan ayat-ayat al-Qur’an,
kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi mush-haf yang sampai sekarang kita yakini sebagai mush-haf al-Qur’an yang Otentik.
Selain dalil-dalil qauli
(bersifat ucapan) yang memberi kesaksian Rasulullah Saw. atas kemampuan
penghayatan para sahabat terhadap apa yang diajarkan oleh beliau,
terdapat pula dalil-dalil yang sekaligus qauli dan fi’li (bersifat
perbuatan tindakan). Beliau merestui beberapa sahabat melakukan ijtihad
(mengerahkan daya pikir untuk mendapat kesimpulan pendapat berdasar
atas pemahaman dan penghayatan terhadap nash al-Qur’an dan
al-Hadits). Yang paling terkenal ialah ketika Rasulullah Saw. mengutus
Sahabat Mu’adz bin Jabal ra. Ke Yaman. Atas pertanyaan Rasulullah Saw.,
Sahabat Mu’adz ra. Member jawaban yang dapat dirumuskan :
1. Kalau sesuatu masalah ada dalilnya yang jelas di dalam al-Qur’an, maka keputusan hokum diambil berdasar al-Qur’an.
2. Kalau tidak terdapat dalam al-Qur’an dan terdapat di dalam as-Sunnah, maka diambil berdasarkan as-Sunnah.
3. Kalau
tidak terdapat dalil yang jelas di dalam al-Qur’an dan juga tidak
terdapat di dalam as-Sunnah, maka keputusan hokum diambil berdasar
ijtihad (hasil daya pikir).
Pasti
dapat diyakinkan oleh setiap pemeluk Islam, bahwa para sahabat bukanlah
sekelompok orang yang dibina oleh Rasulullah Saw. hanya peranannya.
Pasti para sahabat adalah generasi pertama kaum muslimin yang mengemban
tugas melanjutkan mission dan perjuangan Rasulullah Saw. mengembagkan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok dunia, kepada segenap umat manusia.
Allah berfirman:
“Dan
kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan
manusia tidak mengerti”. (QS. As-Saba,28).
Pasti para sahabat adalah pembawa cahaya Islam yang diterimanya dari Rasulullah Saw. kepada generasi-generasi sesudahnya.
Rasulullah Saw. bersabda :
“Para
sahabatku adalah ibarat bintang-bintang.Dengan siapapun di antara
mereka kamu sekalian ikut, maka kamu akan mendapat petunjuk”.
Para
sahabat, pasti bukan sekedar pembawa rekaman ayat-ayat al-Qur’an dan
as-Sunnah saja, tetapi sekaligus adalah juga membawa pentauladanan,
penjelasan dan pendapat mengenal arti ayat al-Qur’an dan al-Hadits itu
sesuai dengan penghayatannya.
C. Generasi Sesudah Sahabat
Sesudah
generasi sahabat, tugas melanjutkan mission dan perjuagan Rasulullah
Saw. diterima oleh generasi baru yang disebut tabiin (para pengikut).
Selanjutnya ganti berganti, bersinambungan generasi demi generasi
menerima mission dan perjuangan itu, para tabiin, para imam mujtahidin,
para ulama shalihin, dari zaman ke zaman.
Kalau
pengumpulkan dan penyusunan catatan –catatan ayat-ayat al-Qur’an sampai
menjadi sebuah mush-haf yang otentik sudah terselesaikan pada zaman
sahabat, maka pengumpulan hadits baru dirintis dan dilakukan oleh para
tabiin. Selanjutnya seleksi, kategorisasi, sistematisasinya digarap dan
dirampungkan oleh generasi-generasi sesudahnya. Segala macam syarat,
sarana dan methoda untuk menyimpulkan pendapat yang benar dan murni dari
al-Qur’an dan al-hadits diciptakan dan dikembangkan. Mulai dari
ilmu-ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Ma’ani,Badi’, dan Bayan sampai
kepada Ilmu Mantiq (Logika) dan Filsafat, dirangkaikan dengan Ilmu
Tafsir, Ilmu Musthalahul Hadits sampai kepada Ushul fiqh dan
al-Fiqhiyyah. Semuanya dimaksudkan untuk dapat mencapai kemurnian ajaran
as-Sunnah Wal Jamaah.
Bukan
hanya guna mendapatkan ilmunya untuk diamalkan sendiri, didakwahkan dan
lebih dari itu untuk diamalkan oleh sebanyak mungkin umat.
Mereka
Assabiqunal Awwalun(generasi terdahulu) itu bergerak ke segala penjuru
dunia, dengan segala jerih payah, dengan penderitaan dan pengorbanan
menyebarkan as-Sunnah Wal Jamaah, Kaaffatan linnaas (kepada seluruh umat
manusia). Tidak terkecuali ke tanah air Indonesia ini. Para muballighin
yang lain, atas resiko sendiri tanpa dukungan dari kekuasaan politik
dan tanpa dukungan dari kekuatan materiil yang berarti, membawa
as-Sunnah Wal Jamaah itu kemari. Dengan tidak mengurangi penghargaan
kepada para muballighin yang lain, tidaklah dapat dilewatkan menyebutkan
jasa-jasa para wali/muballighin yang dikenal dengan istilah Wali Sanga,
kelompok Sembilan yang paling berkesan di dalam Sejarah Islam di
Indonesia.
D. Sistem dan Methodha
Bagi
para sahabat Rasulullah Saw. yang hidup se zaman dengan beliau,
tidaklah terlalu sulit mendapatkan kemurnian ajaran agama Islam, karena
jarak waktu dan jarak fisik yang sangat dekat. Namun makin jauh jarak
fisikdengan sumber pertama, maka menjadi sulit untuk mendapatkan
kemurnian as-Sunnah Wal Jamaah itu, terutama karena besarnya
gangguan-gangguan yang membahayakan kemurnian tersebut.
Kecuali
jauhnyajarak dan adanya gangguan-gangguan, kesulitan untuk mendapatkan
kemurnian as-Sunnah Wal Jamaah itu menjadi lebih berat, karena al-Qur’an
hanya mengandung hal-hal yang prinsip sedang al-Hadits, meskipun lebih
terperinci isinya, tetapi disampaikan oleh Rasulullah Saw. secara
persiil (sebagian-sebagian) sehingga satu masalah saja (umpamanya cara
melakukan shalat) mungkin berates-ratus jumlah al-hadits yang
berhubungan dengan masalah shalat ini. Belum lagi, seleksi al-Hadits dan
latar belakang sejarah disampaikannya oleh Rasulullah Saw.
Oleh
karenanya, tidak semua orang mampu memahami sendiri dan menyimpulkan
pendapatnya mengenai sesuatu masalah langsung dari al-Qur’an dan
al-Hadits, secara benar sehingga dapat dipertanggung jawabkan
kemurniannya. Diperlukan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan, bagi
seseorang yang perlu punya pendapat atau perlu melakukan sesuatu hal
mengenai ajaran agama.
1. Bagi yang memenuhi syarat dan sarana untuk mengambil kesimpulan pendapat (istinbath)sendiri dapat menggunakan sistem ijtihad, yaitu beristinbath sendiri.
2. Bagi
yang tidak memenuhi syarat atau yang meragukan kemampuannya sendiri,
tidak ada yang dapat dilakukan kecuali mengikuti hasil ijtihad atau istinbathorang lain yang mampu, yang disebut dengan istilah sistem taqlid.
Memaksa semua orang beristinbath dan
berijtihad sendiri, bukan saja tidak tepat tetapi juga sangat
membahayakan kemurnian ajaran agama Islam, membahayakan as-Sunnah Wal
Jamaah.
Rasulullah bersabda :
“Tatkala suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran perkara itu).”
E. Karakteristik
Karena
as-Sunnah Wal Jamaah itu tidak lain adalah Ajaran Agama Islam yang
murni sebagaimana dianjurkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama
para sahabatnya, maka perwatakan (karakteristik)-nya adalah juga
karakteristik agama itu sendiri.
Karakteristik agama Islam yang paling essensiil adalah :
1. Prinsip at-Tawassut,jalan pertengahan, tidak tatharruf (ekstrem) ke kanan-kananan atau kekiri-kirian.
2. Sasaran Rahmatan lil ‘Aalamin, menyebar rahmat kepada seluruh alam.
0 komentar:
Posting Komentar