KONTROL SOSIAL
A. Arti Definisi / Pengertian Kontrol Sosial
Kontrol sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah
penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk
berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan
adanya kontrol sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota
masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.
B. Macam-Macam / Jenis-Jenis Cara Pengendalian Sosial
Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :
1. Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna
mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
2. Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan
melalui gambar, tulisan, iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster,
Rambu Lalu Lintas, dll.
3. Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif)
Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang
dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani
melakukan kesalahan yang sama. Contoh seperti main hakim sendiri.
Dari Sumber Lain
A.PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia
menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan
bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi,
berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu
merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang
akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang
berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja
melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat
berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai
berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau
menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu
reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal
demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus
dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi
self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas
kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh
petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan
sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau
menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses
sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka
masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak
melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik
yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk
mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi
nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu
sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat
berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati
bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial
yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan
seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya merupakan sistem dan
proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk
berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat
perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan
norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang
didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan
individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar
seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati
kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
B. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi
norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial.
Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian.
Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang
melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan
sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau
usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan
nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan
sebelum terjadi penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi
pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan
seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau
membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan
keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku
meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan
pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak
yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut,
sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan
penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif).
Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini
dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma
dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang
bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas
penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya
peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak
resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak
ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga
masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola
kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola
kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para
anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar
lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang
dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal.
Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga
dikenal.
C. CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti
yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai
dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan
informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau
menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi
sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang
sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik )
biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya
berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok
masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan
mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman,
dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian
sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan
pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman
formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan
sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat
untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan
norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung
secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan
cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap
yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan
norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi
masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau
Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara
berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam
kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya.
Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
2. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah
pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan
keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan
kekuatan sanksi (sarana yang lainemberian
incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi
ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh
masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau
menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat
ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap
norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali
terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan,
misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang
terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi
fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena
terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman),
dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan
pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial
sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive
positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu
untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana
halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu
mudah diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah
yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita
yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di
kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas
penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa,
hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol,
kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive
psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik
tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik
kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang
yang lebih banyak.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau
memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial
(yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam
keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata
tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara
mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu
kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah
sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu
bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah
efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah
pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan
keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh
warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha
sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun
menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si
pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma.
Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka
berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha
menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan
tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan
akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil
tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk
menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam
masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya
mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak
kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial
bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif
menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu
kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada
kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah
efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini
pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan
oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan
saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit
menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan
konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi)
sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada
norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa
masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya
kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling
mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga,
dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling
mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”,
dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada
masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala
interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa
bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun
memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di
dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak
akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya
maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat
kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal
sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk
menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah
terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan
konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan,
melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran,
pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara
pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada
faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang
dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota
yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa
berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif
beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara
persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila
pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau
membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau
ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut
Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada
situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka
waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan
kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan
kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu
sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin
modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat
petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial
yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah,
lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh
yang dituakan, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar